Sistem Pengelolaan Sektor Wisata di Desa Tieng: Kolaborasi Bagi Hasil dan Peran Multi-Pihak
Desa Tieng, yang terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, telah menjadi contoh menarik dalam pengelolaan sektor wisata berbasis kolaborasi. Sebagian besar destinasi wisata di desa ini dikelola melalui sistem bagi hasil antara pemilik lahan, investor, dan pelaku usaha, sementara beberapa spot strategis dikelola oleh pemerintah atau kelompok masyarakat. Model pengelolaan ini mencerminkan dinamika partisipasi multi-pihak yang unik, meski juga menghadapi sejumlah tantangan. Berikut adalah analisis sistem pengelolaan wisata di Desa Tieng:
1. Pengelolaan oleh Perorangan dengan Sistem Bagi Hasil
Sebagian besar destinasi wisata di Desa Tieng, seperti Taman Langit, Pintu Langit, Watu Angkruk, dan Batu Angkruk, dikelola secara perorangan dengan melibatkan kerja sama antara pemilik lahan, investor, dan pengelola wisata. Sistem bagi hasil menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan usaha.
a. Taman Langit
-
Pemilik Lahan: Warga setempat yang memiliki lahan di kawasan pegunungan.
-
Investor: Menyediakan modal untuk pembangunan fasilitas seperti spot foto, gazebo, dan warung kopi.
-
Pengelola: Individu atau kelompok yang bertugas mengoperasikan dan memelihara lokasi.
-
Sistem Bagi Hasil (Secara umum):
-
Pemilik lahan menerima 30-40% dari pendapatan tiket masuk.
-
Investor mendapatkan 40-50% sebagai pengembalian modal.
-
Pengelola memperoleh 10-30% untuk biaya operasional dan upah.
b. Pintu Langit
-
Pemilik Lahan: Keluarga atau kelompok warga yang memiliki lahan strategis.
-
Investor: Membiayai pembangunan gerbang ikonik dan area foto.
-
Pengelola: Warga lokal yang mengatur tiket, kebersihan, dan promosi.
-
Sistem Bagi Hasil:
c. Watu Angkruk & Batu Angkruk
-
Pemilik Lahan: Investor swasta atau warga yang menguasai lahan.
-
Investor: Membiayai pembangunan jembatan kaca, warung kopi, dan taman.
-
Pengelola: Tim khusus yang merekrut warga lokal sebagai karyawan.
-
Sistem Bagi Hasil:
-
Pada umumnya pendapatan pemilik lahan 20-30%, investor 50-60%, pengelola 10-20%.
-
Pendapatan warung dikelola secara terpisah oleh pengusaha setempat.
Keunggulan Sistem Ini:
Tantangan:
2. Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah: Gardu Pandang Tieng (Tobong)
Gardu Pandang Tieng atau Tobong merupakan pengecualian dalam sistem pengelolaan di Desa Tieng. Spot ini sepenuhnya dikelola oleh pemerintah daerah setempat melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo.
-
Peran Pemerintah:
-
Membangun dan merawat infrastruktur seperti jalan, gardu pandang, dan area parkir.
-
Menyediakan petugas kebersihan dan keamanan.
-
Promosi melalui platform resmi pemerintah.
-
Sumber Pendapatan:
-
Tantangan:
3. Pengelolaan oleh Kelompok Masyarakat: Jalur Pendakian Bukit Seroja
Jalur pendakian Bukit Seroja dikelola secara mandiri oleh kelompok masyarakat Desa Tieng, seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atau organisasi lokal.
-
Model Pengelolaan:
-
Sumber Pendapatan:
-
Keunggulan:
-
Tantangan:
4. Analisis Komparatif Sistem Pengelolaan
Destinasi |
Model Pengelolaan |
Pemangku Kepentingan |
Tantangan Utama |
Taman Langit |
Bagi Hasil (Perorangan) |
Pemilik lahan, investor, pengelola |
Transparansi pembagian pendapatan |
Pintu Langit |
Bagi Hasil (Perorangan) |
Pemilik lahan, investor |
Keterbatasan fasilitas |
Watu Angkruk |
Bagi Hasil (Investor Swasta) |
Investor, pengelola |
Harga tiket tinggi |
Batu Angkruk |
Bagi Hasil (Investor Swasta) |
Investor, pengelola |
Persaingan antar-destinasi |
Tobong |
Pemerintah Daerah |
Dinas Pariwisata |
Birokrasi lambat |
Bukit Seroja |
Kelompok Masyarakat |
Pokdarwis, warga |
Keterbatasan modal |
5. Dampak Sistem Pengelolaan terhadap Masyarakat
6. Rekomendasi untuk Pengembangan Berkelanjutan
-
Peningkatan Transparansi:
-
Pelibatan Pemerintah sebagai Fasilitator:
-
Pembangunan Infrastruktur Bersama:
-
Penerapan Aturan Lingkungan:
Kesimpulan
Sistem pengelolaan sektor wisata di Desa Tieng mencerminkan kolaborasi unik antara perorangan, investor, pemerintah, dan kelompok masyarakat. Model bagi hasil telah membuka peluang ekonomi bagi warga, sementara pengelolaan oleh pemerintah dan kelompok masyarakat menjaga keberlanjutan destinasi strategis. Namun, tantangan seperti transparansi, ketimpangan, dan kerusakan lingkungan perlu diatasi melalui regulasi yang jelas dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan optimasi sistem ini, Desa Tieng dapat menjadi contoh sukses pengelolaan wisata berbasis kolaborasi di Indonesia.